Saya bukan seorang ahli di bidang kesehatan, apalagi seorang dokter ataupun farmasis, namun adanya berita tersebut cukup menarik perhatian saya. Salah satu sebabnya adalah karena dua orang anak saya dahulu juga mengkonsumsi susu formula. Dan ternyata sampai sekarang mereka sehat-sehat saja, bahkan tergolong anak-anak yang cerdas.
Google adalah sarana pemuas rasa penasaran saya. Melalu google pulalah saya menemukan artikel tentang E. sakazakii yang diterbitkan oleh WHO di sini. Artikel tersebut tersedia dalam bentuk PDF, Anda bisa mendownload dan membacanya juga. Karena dipublikasikan oleh WHO, isi artikel tersebut tidak perlu diragukan lagi, bukan?.
Melalui artikel tersebut ada beberapa hal yang saya dapatkan:
- Bakteri E. sakazakii memang ada di susu formula, bahkan telah ada penelitian mengenai bakteri tersebut yang dilakukan pada tahun 1960an.
- WHO dan FAO telah melakukan pertemuan pada tahun 2004 terkait dengan adanya bakteri tersebut.
- Di Belanda, hanya 10 kasus infeksi bakteri tersebut yang terjadi selama 40 tahun.
- Bayi yang paling berpotensi terkena infeksi bakteri tersebut adalah bayi yang lahir dengan berat badan rendah (< 2500 g).
- Probabilitas terserang bakteri tersebut adalah 8.9 × 10-6 atau 1 berbanding 8.900.000, itupun untuk bayi yang lahir dengan berat badan rendah.
- Probabilitas tersebut bisa berkurang hingga 10.000 kali lipat bila susu dilarutkan dengan air di atas suhu 70 °C.
Yang saya sesalkan, mengapa bila ada kejadian seperti ini, media massa selalu mengemasnya secara bombastis. Tidak ada upaya untuk memberikan informasi tambahan seperti catatan sejarah bakteri tersebut di dalam susu formula, probabilitas bayi yang mungkin terinfeksi bakteri tersebut, cara penanggulannya, ataupun upaya untuk menyelidiki, setidaknya selama kurun waktu 2004 hingga sekarang, ada berapa kasus bayi yang terinfeksi bakteri tersebut. Dengan demikian, pemberitaan menjadi berimbang, dan bukannya “pokoknya sejumlah susu formula terkontaminasi bakteri dan itu berbahaya. Titik.”
Jadi ibu-ibu yang memiliki bayi, kalau menurut saya sih rasanya tidak perlu merasa kuatir yang berlebihan. Apalagi sampai mengganti susu dengan air tajin. Apakah juga jaminan bahwa air tajin bebas bakteri?
***
Adanya kehebohan seperti ini kadang menjadi blessing in disguise juga. Ibu-ibu akan semakin terdorong untuk memberikan ASI Eksklusif sampai usia bayi 6 bulan. Masalahnya, bagaimana dengan ibu bekerja? Cuti yang diterima umumnya hanya dua bulan setelah melahirkan. Setelah ibu bekerja kembali, faktor kegagalan pemberian ASI Eksklusif tentu sangat besar. Padahal Departemen Kesehatan Indonesiapun menyerukan para ibu untuk memberikan ASI Eksklusif sampai usia bayi 6 bulan.
Usul saya sih, DepKes melakukan koordinasi dengan Depnakertrans agar memberikan hak cuti kepada ibu melahirkan hingga usia bayi 6 bulan, agar program pemberian ASI Eksklusif bisa berhasil. Bisa?
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar