
Yahudi sebagai sebuah bangsa digdaya di akhir zaman seperti ini, memiliki sebuah kunci “keberhasilan” dalam menjalankan misinya. Rumus mereka terletak dalam hal pendidikan. Yahudi sadar betul bahwa penanaman nilai-niai Yahudi adalah kunci dalam mengokohkan indentitas diri mereka. Ya sebuah bangsa kecil yang menjadi besar dan memiliki arti penting dalam menguasai dunia saat ini.
Di   tengah sekularisasi dunia yang diciptakan mereka, Yahudi justru tampil   dalam semangat militanisme yang terinternalisasi baik dalam kehidupan   mereka. Bagi Yahudi, sekularisasi hanya berlaku bagi dunia Islam, namun   bagi mereka tidak. Bahwa Al Qur’an hanya menjadi kitab suci berdebu  bagi  orang Islam, memang iya. Akan tapi sebaliknya bagi mereka, taurat   adalah segala-galanya rujukan dalam menjalankan ritme kehidupan.
Eksplorasi   ini bukan dalam tujuan untuk melemahkan semangat kita sebagai umat   muslim, -kita adalah umat mulia yang diberikan Allah kenikmatan berupa   dienul Islam dalam jiwa kita,- tapi ini adalah ajang muhasabah,   intropeksi, dan juga antisipasi bahwa pada akhirnya (bahkan sudah   dimulai) kita akan berbenturan dengan mereka, ya dalam arti yang   sebenarnya: Al Masihuddajal di pihak kaum kufar dan Al Mahdi di barisan   kaum muslimin.
Menurut, Rabbi Lev Baesh, Direktur pada The Resource Center for Jewish Clergy of InterfaithFamily.com,   Taurat adalah lebih dari sebuah kitab suci. Ia menjadi pengacu dalam   seluruh pembelajaran moral dan etika bagi orang tua dalam mendidikan   anak seorang anak Yahudi.
Dalam tulisannya, Teaching Jewish Values To Your Children, pakar Parenting Yahudi itu menulis,
Pengajaran   Taurat adalah tentang bagaimana mengajari seorang individu Yahudi   berperilaku yang benar. Dimulai dari bagaimana mereka mampu mengurus   diri sendiri, peduli terhadap sesama Yahudi, memiliki kepedulian tentang   arti perjuangan, dan pembinaan terhadap generasi mendatang.
Rabbi   yang aktif dalam kampanye pendidikan keluarga ini mengaku bahwa   pendidikan seorang anak Yahudi tidak akan bisa dijalankan dengan misi   sekularisme, dimana keluarga Yahudi terlepas dari millah mereka. Dimana   terputusnya ajaran agama Yahudi dalam tiap keluarga Yahudi. Seorang   keluarga Yahudi harus mendekatkan diri kepada ajaran agamanya.
Oleh   karena itu, ia menekankan bahwa keberhasilan pendidikan Yahudi tidak   akan terlepas pada tiga hal yang mutlak harus dimiliki seorang keluarga   Yahudi, yakni bagaimana pelajaran Taurat harus diberikan kepada seorang   anak, bagaimana menciptakan sebuah masyarakat Yahudi di sekitar   keluarga, dan kesinambungan dalam menjalankan ibadah agama.
Dengan   terlibat, pada tiga hal ini, maka seseorang Yahudi memiliki fondasi   kuat untuk mengajarkan nilai-nilai Yahudi bagi generasi berikutnya.   “Akhirnya, jika Anda ingin menjadi guru terbaik dari nilai-nilai Yahudi,   pertama menjadi murid terbaik Anda sendiri” pungkasnya
Rupanya,   konsep yang ditawarkan rabbi terebut benar-benar terjalan baik di   Israel. Jika di negeri ini anak-anak sudah sangat dekat dengan rokok,   bahkan kita tidak asing mendengar berita seorang anak kecil yang sudah   merokok dari umur dua tahun, di Israel merokok adalah sebuah hal tabu,   jika tidak mau dikatakan haram.
Ya   bangsa picik itu memang jahat. Ditengah Yahudi menjadi aktor produsen   asap mematikan itu, namun di saat itu pula mereka mengukutuk penggunaan   (bahkan pelarangannya) di negeri mereka sendiri. Perlu dicatat, Philip   Morris, pabrik rokok terbesar di Amerika menyumbangkan 12% dari   keuntungan bersihnya ke Israel.
Saat   ini jumlah perokok di seluruh dunia mencapai angka 1,15 milyar orang,   jika 400 juta diantaranya adalah perokok Muslim, berarti umat muslim   menyumbang 35% dari jumlah perokok dunia. Laba yang diraih oleh produsen   rokok bermerek Marlboro, Merit, Benson, L&M itu setiap bungkusnya   pun mencapai 10%.
DR.   Stephen Carr Leon yang pernah meneliti tentang pengembangan kualitas   hidup orang Israel atau orang Yahudi. Mereka memiliki hasil penelitian   dari ahli peneliti tentang Genetika dan DNA yang meyakinkan bahwa   nikotin akan merusak sel utama yang ada di otak manusia yang dampaknya   tidak hanya kepada si perokok akan tetapi juga akan mempengaruhi "gen"   atau keturunannya.
Pengaruh   yang utama adalah dapat membuat orang dan keturunannya menjadi   "bodoh"atau "dungu". Jadi sekali lagi, jika penghasil rokok terbesar di   dunia ini adalah orang Yahudi ! Tetapi yang merokok, bukan orang  Yahudi.  Ironis sekali. Siapakah yang kemudian menjadi konsumen  asap-asap rokok  buatan Negara Zionis itu? Anda, orangtua anda, atau  anak kita? Hanya  kita yang bisa menjawab.
Dan   yang lebih mengkhawatirkan lagi, kita sebagai umat Islam justru   meninggalkan pilar asasi kita kepada seorang anak, yakni pendidikan   Tauhid dan Al Qur'an sejak usia dini. Kita umat Islam kadang lebih sibuk   pada asesoris parenting,   seperti konsep "jangan katakan tidak" dan lain sebagainya. Pernah kami   mendengar kenapa pendidikan Al Qur'an seperti menghafal diabaikan pada   usia dini, dikarenakan mengganggu kognisi seorang anak. Ironis.   (pz/bersambung)
 
 



 
 
 
 





 
0 komentar:
Posting Komentar