Bismillah...
Barang   siapa yang melalaikan pendidikan anaknya dengan hal-hal yang  bermanfaat  serta meninggalkannya secara sia-sia, maka berarti telah  berbuat buruk  kepada anak seburuk-buruknya. Kebanyakan anak menjadi  rusak adalah  disebabkan orang tuanya, karena tidak adanya perhatian  kepada mereka,  serta tidak diajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban  agama dan  sunah-sunnahnya.” (Ibnu Qayyim Al Jauzi)
 Ribuan   wanita histeris, ada yang senang berdecak gembira ada pula yang   menitikkan airmata. Tangan mereka melambai-lambai, berteriak menyambut   uluran jemari sang vokalis yang menyapa. Tidak sedikit dari mereka yang   memegang fokus layar ponsel. Badannya tegap berdiri, mata mereka nyaris   tidak berkedip, sebab semuanya memiliki visi sama untuk memfoto wajah   vokalis ibukota.
Ribuan   wanita histeris, ada yang senang berdecak gembira ada pula yang   menitikkan airmata. Tangan mereka melambai-lambai, berteriak menyambut   uluran jemari sang vokalis yang menyapa. Tidak sedikit dari mereka yang   memegang fokus layar ponsel. Badannya tegap berdiri, mata mereka nyaris   tidak berkedip, sebab semuanya memiliki visi sama untuk memfoto wajah   vokalis ibukota.Itulah   gambaran dari generasi “Inbox” saat ini. Ya acara yang diselenggarkan   salah satu stasiun tevisi swasta yang tayang saban pagi. Pengikutnya   mencapai puluhan ribu jemaat, mengekor mengeliling mall tempat diadakan.   Mereka memang dari rumah izin kepada orang tua untuk pergi ke sekolah,   namun sampai tempat tujuan nama guru mereka berubah menjadi SMASH,  Ungu, Wali Band, dan deretan artis papan atas ibukota.
Apa   yang bisa kita harapkan dari generasi seperti ini? Generasi Inbox yang   standar keberhasilannya adalah uang dua puluh lima ribu rupiah sekali   tampil. Bahkan bertemu calon pujaan yang biasanya hanya ditemu lewat   mimpi lebih tinggi dari segalanya. Semuanya nyaris sama. Ada anak-anak   kita yang pakai tengtop, celana tanggung sepaha, bahkan gadis berjilbab   pun ikut berteriak secara histeris. Teriakannya lebih keras dari gadis   lainnya.
Salah Siapa?
Fenomena   remaja yang rela berpanas-panasan itu diulang berkali-kali setiap  pagi.  Tidak hanya di satu televisi swasta, namun juga di stasiun  televisi  lain dengan nama berbeda, namun dalam rupa hampir sama.
Orang   tua memiliki peran dalam hal ini. Kadang Anak kita tidak mendapatkan   hak mereka dalam menemukan sosok teladan yang seharusnya. Dari mulai   para Nabi, Sahabat, hingga ulama masa kini. Ketika kekosongan itu   terjadi, televisi lah yang masuk untuk mengisinya. Dan jadilah apa yang   kita lihat saat ini terhadap apa yang disebut Generasi Inbox, Derings,   Dahsyat, Justin Bieber atau apalah namanya.
Di   zaman seperti sekarang ini, orangtua sudah terlanjur mendefinisikan   standar keberhasilan dari sudut materialisme semata. Mereka memang   sukses membangun bisinisnya, relasinya, karirnya, tapi mereka gagal   membangun ditempat asal mereka berdiri, yakni keluarga.
Rasulullah   SAW sendiri adalah seorang ayah sejati. Tidak ada sejarahnya   keberhasilan Rasulullah SAW dapat terlaksana tanpa sebelumnya telah   sukses di dalam rumah. Intensitas Rasulullah mendekatkan seorang anak   terhadap Allah pun sangat luar biasa.
Rasulullah   pernah lama sekali sujud. dalam shalatnya, maka salah seorang sahabat   bertanya,” Wahai Rasulullah, sesungguhnya anda lama sekali sujud,  hingga  kami mengira ada sesuatu kejadian atau anda sedang menerima  wahyu. Nabi  Muhammad SAW, menjawab, “Tidak ada apa-apa, tetaplah aku di  tunggangi  oleh cucuku, maka aku tidak mau tergesah-gesah sampai dia  puas.” Adapun  anak yang di maksud ialah Al-Hasan atau Al-Husain  Radhiyallahu Anhuma.
Rasulullah   pun senang bermain-main (menghibur) dengan anak-anak dan kadang-kadang   beliau memangku mereka. Beliau menyuruh Abdullah, Ubaidillah, dan   lain-lain dari putra-putra pamannya Al-Abbas r.a. untuk berbaris lalu   berkata, “Siapa yang terlebih dahulu sampai kepadaku akan aku beri   sesuatu (hadiah).” Merekapun berlomba-lomba menuju beliau, kemudian   duduk di pangkuannya lalu Rasulullah menciumi mereka dan memeluknya.   Adakah ayah yang seperti itu sekarang ini?
Oleh   kiranya tepatlah Rasulullah SAW berkata, "Agama seseorang tergantung   kepada siapa yang menjadi orang yang paling dicintainya. Maka coba   perhatikan siapa orang yang paling dicintai oleh salah seorang dari   kalian." (HR. Ahmad).
Bayangkan   jika sosok dicintai anak kita adalah diri kita sendiri yang justru   gagal meneruskan amanah cintanya. Maka tak heran, mereka kemudian   beralih dengan melampiaskan rasa cinta itu kepada Inbox, Derings,   Dahsyat, dan segenap lagu utopis yang menjadi candu bagi mereka.
Faktor Ibu Yang Tidak Berjalan Maksimal
Suka   tidak suka, senang maupun tidak senang, kaum lelaki harus rela, bahwa   ibu adalah orang yang paling dekat kepada anaknya ketimbang ayah. Walau   seorang ayah bersusah payah untuk dekat kepada anak, pastilah  kedekatan  emosional seorang ibu kepada anaknya akan mengalahkan  siapapun. Jika  kita belajar kepada para ulama, mereka akan memiliki  kisah antara arti  menjadi mukmin sejati yang tak lepas dari seorang  ibu.
Sayyid   Quthb misalnya, ia pernah berujar tidak ada suara lain ketika dirinya   sedang bermain di halaman rumahnya kecuali lantunan tilawah dari Sang   Ibu. Visi bunda Asy Syahid pun tidak main-main. Dengarlah ucapan Asy   Syahid
“Harapan   terbesar Ibu terhadapku adalah agar Allah berkenen membuka hatiku,   hingga aku bisa menghapal Al Qur’an dan membacanya di hadapan Ibu dengan   baik.”
Adakah seorang ibu yang mengatakan seperti itu di depan anaknya saat ini? Dan itu menjadi kenyataan, dari mulai Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dan Ainah Quthb mereka semua menjadi hafiz Qur’an. Tidak hanya itu Sayyid Quthb dan Muhammad Quthb menjadi seorang pendidik yang ternama di zamannya.
Adakah seorang ibu yang mengatakan seperti itu di depan anaknya saat ini? Dan itu menjadi kenyataan, dari mulai Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dan Ainah Quthb mereka semua menjadi hafiz Qur’an. Tidak hanya itu Sayyid Quthb dan Muhammad Quthb menjadi seorang pendidik yang ternama di zamannya.
Lain   keluarga Quthb, lain kisah Imam Syafi’i. Imam an-Nawawi pernah   menceritakan bagaimana peran seorang orangtua perempuan di belakang   penguasaan Imam Syafi‘i terhadap fiqih. Ibu Imam Syafi’i adalah seorang   wanita berkecerdasan tinggi tapi miskin. Namun bisa dikatakan   kesetiaannya berada di belakang sang anak lah yang menjadikan Imam   Syafi’i menjadi ilmuwan sejati hingga saat ini.
Di   Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di   sana, meski hidup tanpa suami, sang ibu telah sukses menerjemahkan visi   jangka panjang untuk membawa nama harum sang anak ke hadapan   Allahuta’ala. Sekalipun hidup dalam sebatang kara, hal itu tidak   menghalangi sang ibu untuk menempatkan anaknya dalam kultur pendidikan   agama yang terbaik di Mekkah.
Sang   ibu sadar, ia tidak memiliki banyak uang, namun kecintaananya terhadap   Allah dan buah hatinya, sang ibu meluluhkan hati sang guru untuk rela   mengajar Imam Syafi’i meski tanpa bayaran.
Sekalipun   hidup dalam kemiskinan, kecintaan Imam Syafi’i tak sama sekali   membuatnya pantang menyerah dalam mencintai Islam dan menimba ilmu.   Beliau sampai harus mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit,   pelepah kurma, dan tulang unta semata-mata demi kecintaannya dalam   menulis Islam. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan   tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah   bertuliskan hadits-hadits Nabi.
Hingga   pada usia sebelum beranjak ke 15 tahun, Imam Syafi’i menceritakan   hasratnya kepada sang ibu yang sangat dikasihinya tentang sebuah   keinginan seorang anak untuk menambah ilmu diluar Mekkah. Mulanya sang   bunda menolak. Berat baginya melepaskan Syafi'i, dalam sebuah kondisi   dimana beliau berharap kelak Imam Syafi’i tetap berada bersamanya untuk   menjaganya di hari tua.
Namun   demi ketaatan dan kecintaan Syafi'i kepada Ibundanya, maka mulanya   beliau terpaksa membatalkan keinginannya itu. Meskipun demikian akhirnya   sang ibunda mengizinkan Imam Syafi'i untuk memenuhi hajatnya untuk   menambah Ilmu Pengetahuan ke luar kota.
Sebelum   melepaskan Syafi'i berangkat, ibunda Imam Syafi’i menjatuhkan doa   ditengah rasa haru orangtua kandung memiliki anak yang telah jatuh hati   pada ilmu,
"Ya   Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam! Anakku ini akan meninggalkan   aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya   untuk menuntut Ilmu Pengetahuan peninggalan Pesuruhmu. Oleh karena itu   aku bermohon kepadaMu ya Allah permudahkanlah urusannya. Peliharakanlah   keselamatanNya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat  sepulangnya  nanti dengan dada yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan yang  berguna,  amin!"
Setelah   usai berdo'a, sang ibu memeluk Syafi'i kecil dengan penuh kasih sayang   bersama linangan air mata membanjiri jilbabnya. Ia sangat sedih betapa   sang anak akan segera berpisah dengannya. Sambil mengelap air mata  dari  wajahnya, sang ibu berpesan,
"Pergilah   anakku. Allah bersamamu. Insya-Allah engkau akan menjadi bintang Ilmu   yang paling gemerlapan dikemudian hari. Pergilah sekarang karena ibu   telah ridha melepasmu. Ingatlah bahwa Allah itulah sebaik-baik tempat   untuk memohon perlindungan!” Subhanallah
Selepas   mendengar doa itu, Imam Syafi'i mencium tangan sang ibu dan  mengucapkan  selamat tinggal kepada ibunya. Sambil meninggalkan wanita  paling tegar  dalam hidupnya itu, Imam Syafi'i melambaikan tangan  mengucapkan salam  perpisahan. Ia berharap ibundanya senantiasa  mendo'akan untuk  kesejahteraan dan keberhasilannya dalam menuntut Ilmu.
Imam   Syafi’i tak sanggup menahan sedihnya, ia pergi dengan lelehan airmata   membanjiri wajahnya. Wajah yang mengingatkan pada seorang ibu yang  telah  memolesnya menuju seorang bergelar ulama besar. Ya ulama besar  yang  akan kenang sampai kiamat menjelang.
Itulah   peran yang ditopang seorang ibu yang selalu memasrahkan buah hatinya   kepada Allah berserta kekuatan tauhid yang menyala-nyala. Inilah   karakter sejati seorang ibu yang telah menyerahkan jiwa raga anaknya   hanya kepada ilmu. Menyerahkan segala aktivitasnya dalam rangka   pengabdian kepada Allah. Dari mulai ia melahirkan, mengasuhnya tanpa   suami, membesarkannya, hingga mengantar Syafi’i menjadi Imam Besar Umat   Islam hingga kini.
Generasi “Inbox” dan Tantangan Zaman
Maraknya   generasi “Inbox” saat ini mesti jadi keprihatinan bersama. Tidak  jarang  karena di acara-acara tersebut, penuh dengan candaan yang tidak  pantas  disaksikan oleh umat muslim. Dialog-dialog menjurus kepada  pornografi  pun menjadi bumbu pelengkap tersendiri. Bahkan di salah satu  tayangan  sejenis, ada lakon artis yang tersandung kasus video porno.
 Apa   yang bisa kita harapkan dengan membiarkan anak kita pergi ke sana?   Berdecak gembira menceritakan kepada kawan-kawannya karena baru saja   masuk layar kaca. Sungguh cerita mereka masuk televisi dan dibayar   puluhan ribu sangat tidak sebanding dengan hancurnya akhlak generasi   penerus.
Apa   yang bisa kita harapkan dengan membiarkan anak kita pergi ke sana?   Berdecak gembira menceritakan kepada kawan-kawannya karena baru saja   masuk layar kaca. Sungguh cerita mereka masuk televisi dan dibayar   puluhan ribu sangat tidak sebanding dengan hancurnya akhlak generasi   penerus.Oleh   karenanya, disinilah peran orang tua dan pendidik untuk meninjau  ulang,  mengintropeksi apakah mereka sudah tepat mendidik anaknya selama  ini.  Apakah mereka sudah adil dengan menjadi sukses di luar rumah,  namun  justru gagal di luar rumah. Padahal anak adalah investasi saat  kita  telah tiada. wallahua’lam. 

 
 



 
 
 
 





 
0 komentar:
Posting Komentar